Tahun ini Kroasia memang gagal mengulangi prestasi empat tahun silam mencapai final Piala Dunia, tapi mereka sukses mengulangi pencapaian 1998 dengan menempati peringkat ketiga Piala Dunia.
Pada 1998 mereka mengalahkan Belanda 2-1 untuk mencapai posisi itu, maka tahun ini pun mereka menang dengan skor yang sama melawan Maroko.
Mendominasi sepanjang laga dan menciptakan peluang gol lebih banyak, Kroasia menang berkat gol Josko Gvardial pada menit ketujuh yang dua menit kemudian disamakan Achraf Dari sebelum Mislav Orsic mencetak gol penentu kemenangan tiga menit sebelum waktu normal babak pertama usai.
Kroasia tergolong negara yang baru lahir, tetapi mereka tak butuh bergenerasi-generasi untuk menjadi salah satu kekuatan besar sepak bola dunia.
Merdeka pada 25 Juni 1991 di tengah ambruknya Yogoslavia dan kini berpenduduk 3,8 juta jiwa atau sekitar sepertiga penduduk kota Jakarta, si mini Kroasia dua kali berturut-turut mencapai semifinal turnamen olah raga terbesar kedua setelah Olimpiade tersebut.
Dua semifinal itu juga bagian dari tiga semifinal sejak 1998 atau tujuh tahun setelah merdeka.
Mereka memenangkan salah satu semifinal itu untuk kemudian mencapai final 2018, namun pada 1998 dan 2022 gagal melaluinya. Dua kegagalan ini ditutup dengan epilog manis bersama predikat peringkat ketiga Piala Dunia.
Tiga tahun setelah merdeka, mereka memainkan pertandingan resmi pertamanya melawan Estonia.
Dua tahun kemudian mereka mencapai perempat final Euro 1996 yang disusul dengan semifinal Piala Dunia pada 1998.
Bagi sebuah negara yang baru lahir, pencapaian ini sungguh melampaui segala ekspektasi.
Saat itu mereka sudah dianugerahi generasi emas pemain yang di antaranya adalah Davor Suker dan Zvonimir Boban yang bermain untuk klub-klub elite Eropa.
Tetapi generasi emas itu kemudian memudar sampai-sampai peringkat ketiga pada Piala Dunia 1998 malah menjadi bumerang karena dua tahun kemudian mereka tak lolos ke putaran final Euro 2000.
Tetapi delapan tahun setelah itu nama mereka mulai besar kembali seiring dengan munculnya generasi emas berikutnya pimpinan Luka Modric dan Mario Mandzukic.
Generasi emas itu tampil menawan dalam Euro 2016 dengan memuncaki fase grup sebelum terhenti pada babak 16 besar di tangan Portugal yang lalu menjuarai turnamen itu.
Zlatko Dalic dan Perang Balkan
Tak lama setelah itu mereka mengganti pelatih dengan Zlatko Dalic pada 2017.
Dalic tak teruji dalam kontes-kontes sepak bola level atas kecuali tingkat Asia ketika melatih klub Al Ain di Uni Emirat Arab dalam final Liga Champions Asia 2016.
Ternyata Dalic orang yang tepat untuk Kroasia. Dalam era dia pula Kroasia memasuki masa puncak yang melampaui sejarahnya.
Bersama pemain-pemain seperti Luka Modric, Ivan Rakitic, Mario Mandzukic dan Danijel Subazic, ditambah darah muda seperti Marcelo Brozovic, mereka mencapai kejayaan hingga final Piala Dunia 2018 sebelum menyerah kepada Prancis yang menjadi juara dunia edisi itu.
Sekalipun terhenti pada 16 besar Euro 2020 karena tunduk 3-5 kepada Spanyol, Kroasia di tangan Dalic sungguh telah menjadi tim yang konsisten bagus yang tetap masuk 15 besar peringkat FIFA sampai kini.
Kroasia memang sudah tak bisa lagi menurunkan Subasic dan Mandzukic, bahkan Luka Modric pun segera pensiun, namun kini mereka tak pernah putus menghasilkan generasi emas lainnya.
Mereka kini memiliki pemain-pemain generasi baru seperti Josko Gvardiol, Nikola Vlasic, Dominik Livakovic, Lovro Majer, Mario Pasalic dan Mateo Kavocic.
Mereka bukan sekadar generasi emas dan muda, karena mereka juga pewaris etos bermain yang hebat yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Etos itu adalah konsisten bermain bagus, gigih dan pantang menyerah yang semuanya sudah menjadi trademark Kroasia.
Mereka bisa memiliki itu semua mungkin karena tempaan sejarahnya yang keras akibat Perang Balkan tiga dekade silam.
Kenyataannya skuad Kroasia diisi oleh pemain-pemain yang besar semasa dan setelah Perang Balkan yang brutal terutama antara etnis Kroasia dengan Serbia, dan antara etnis Bosnia dengan Serbia.
Luka Modric sendiri dibesarkan di kota Zadar yang menjadi salah satu tempat berlangsung perang brutal dan hingga ini belum sepenuhnya besar dari ranjau darat yang ditanamkan sewaktu perang Balkan itu.
Kendati terjadi 30 tahun lalu pada 1991-1995, Perang Balkan telah menciptakan trauma sekaligus pelecut semangat bangsa Kroasia, termasuk pemain-pemain sepak bolanya.
Bukan kebetulan
Sepak bola menjadi salah satu yang menyatukan dan menyemangati Kroasia, walaupun sepak bola juga bisa disebut turut membuat Perang Balkan semakin brutal.
Ini karena sejak era Yogoslavia sudah ada fanatisme klub yang umumnya berbasis etnis, seperti Dinano Zagreb untuk etnis Kroasia dan Red Star Belgrade untuk etnis Serbia.
Bahkan ada yang bilang pemicu Perang Balkan sebenarnya adalah kerusuhan yang terjadi saat pertandingan Dinamo Zagreb melawan Red Star Belgrade pada 1990.
Timnas Kroasia mewarisi identitas Kroasia semasa era Yogoslavia. Tak heran, pemain Kroasia dilihat bak pahlawan nasional dan simbol identitas etnonasionalisme.
Pertandingan sepak bola pun dianggap sebagai ajang menguatkan dan menebalkan nasionalisme.
Lahir pada 1980-an dan 1990-an, para pemain Kroasia saat ini pun masih menanggung jejak Perang Balkan yang brutal nan sulit terhapus dari ingatan bangsa.
Jika tim Kroasia pada 1998 menjadi perlambang untuk kelahiran Kroasia, maka tim 2018 adalah tentang kisah masa depan sebuah negara yang akhirnya mewujudkan janji mencapai level tertinggi dalam final Piala Dunia.
Akan halnya 2022, adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa prestasi Kroasia pada 2018 bukanlah kebetulan.
Faktanya, walaupun menyerah 0-3 kepada Argentina dalam semifinal, Kroasia telah membuktikan diri bukan tim yang mencapai level puncak karena kebetulan.
Peringkat ketiga Piala Dunia 2022 adalah buktinya.
Indahnya ini pun bukan yang pertama mereka lakukan karena pada 1998 pun sudah mereka rengkuh, bahkan pada 2018 nyaris masuk barisan elite negara-negara yang menjuarai Piala Dunia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kroasia lebih dari kisah peringkat ketiga Piala Dunia 2022
Komentar